A. KELAHIRAN MUHAMMAD
Penghulu Para Rosul ini lahir ditengah keluarga Bani Hasyim di Mekah pada subuh hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun pertama setelah serangan pasukan gajah. Ini bertepatan dengan 40 tahun setelah turunnya Kisra Anusirwan raja Persia, persisnya pada tanggal 20 atau 22 April 571 M.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad bahwa Ibunda Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bercerita, “Ketika aku melahirkan, dari rahimku keluar cahaya yang terangnya menyinari istana-istana Syam.” Imam Ahmad, ad-Darimi, dan lain lainnya meriwayatkan kisah senada.
Konon beberapa tanda keistimewaan yang menunjukan nubuwat telah tampak sejak Muhammad kecil dilahirkan. Empat belas tiang bangunan kekaisaran Persia runtuh, api yang disembah oleh orang-orang Majusi padam, gereja-gereja di sekitar Bahirah Sawah runtuh setelah lebih dulu amblas ke tanah. Begitu menurut riwayat Imam Thobari, Imam bukhori, Imam Baihaqi dan lainnya.
Setelah Muhammad kecil lahir sang ibu mengirim utusan kepada Abdul Muthalib untuk mengabarkan kelahiran cucunya. Abdul Muthalib bergegeas datang dengan sukacita. Digendongnya bayi itu ke Ka’bah untuk berdoa dan bersyukur kepada Allah (Tuhan Ka’bah). Dia menamai cucunya itu Muhammad, sebuah nama yang tidak terlalu lazim dikalangan bangsa Arab. Muhammad kecil dikhitan pada hari ketujuh kelahirannya sebagaimana tradisi bangsa Arab pada saat itu.
Perempuan pertama yang menyusui Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah sang ibu pada tujuh hari pertama usainya adalah Tsuwaibah, mantan budak Abu Lahab. Saat itu Tsuwaibah sedang menyusi anaknya yang bernama Masruh, dan sebelumnya juga mantan budak ini pernah menyusui Hamzah ibn Abdul Muthalib, lalu Abu Salamah ibn Abdil Asad Al-Makzumi.
B. HIDUP DITENGAH BANI SA’AD DALAM ASUHAN HALIMAH
Sudah menjadi tradisi bangsa Arab saat itu untuk mencari perempuan pedalaman untuk menyusui bayi-bayi mereka. Tujuannnya agar si bayi terhindar dari penyakit yang bisa menyebar di perkotaan. Agar ia bisa tumbuh dengan fisik yang kuat, juga agar ia teasa kefasihan bahasa Arabnya sejak kecil. Mengikuti tradisi, Abdul Muthalib mencari perempuan yang mau menyusui cucu tercintanya. Akhirnya, dia menemukan seorang perempuan dari Bani Sa’ad ibnu Bakar yang bersedia menyusui Muhammad. Perempuan itu bernama Halimah binti Abu Su’aib. Suaminya bernama al-Harits ibn Abdul Uzza yang biasa dipanggil Abu Kabsyah.
Saudara-saudara sesusuan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah Abdullah ibn Al-Harits, Anisah binti Al-Harits, dan Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits -Julukannya adalah Syaima’ (yang bertahi lalat) dan julukan itu lebih dikenal daripada namanya sendiri. Dialah yang biasa mengasuh Muhammad kecil dan Abu sufyan ibn Harits ibn Abdul Muthalib, putra paman Muhammad.
Dikisahkan bahwa paman Muhammad, yakni Hamzah ibn Abdul Muthalib disusukan pula kepada Bani Sa’ad ibn Bakar. Lalu ibu susuan Hamzah menyusukan Muhammad pada suatu hari, padahal pada saat itu Muhammad sedang diasuh oleh ibu susunya, Halimah. Jadilah Hamzah saudara sesusuan Muhammad dari dua jalur, Tsuwaibah dan as-Sa’diyah.
Halimah menyaksikan keberkahan yang menakjubkan dari bayi Muhammad kecil. Berikut ini kisah lengkapnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq.
Suatu hari dimusim paceklik, Halimah memutuskan untuk pergi bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan masih menyusu. Dan anak yang lain ditinggalkan, dan dititipkan kepada perempuanperempuan Bani Sa’ad yang tidak ikut dalam perjalanan tersebut, ketika itu adalah tahun paceklik dan mereka benar-benar tidak punya apa-apa.
Halimah berangkat dengan keledai putih dan untanya. Kala itu hujan tidak pernah turun setetes pun. Mereka tidak bisa tidur karena anak kecil yang dibawa menuju Makah terus menerus menangis kelaparan termasuk anak bayi Halimah, karena susu yang sedikit sama sekali tidak mengenyangkannya. Unta yang dibawa juga tidak punya air susu yang bisa mengisi perut mereka. Mereka pada saat itu benar-benar dalam kesusahan dan butuh pertolongan.
Halimah menunggangi keledainya. Jalannya pelan sekali sehingga rombongan yang lain merasa payah. Hingga akhirnya sampai juga mereka di Makah untuk mencari bayi-bayi yang bisa disusui. Perempuanperempuan itu menolak menyusui Muhammad kecil setelah tahu bahwa dia anak yatim. Mereka memang mencari tahu ayah dari bayi yang akan disusui. Dan jawaban yang diterima ketika mereka bertanya tentang bayi Muhammad adalah, “Dia anak yatim.” Bayi ini hanya punya ibu dan kakek yang bertanggaung jawab merawatnya. Mereka para ibu susuan kurang menyukai yang demikian.
Selang beberapa waktu, semua perempuan itu sudah berhasil mendapatkan bayi, kecuali Halimah. Ketika rombongan hendak pulang, halimah berkata kepada suaminya, “Sungguh, pantang bagiku pulang bersama rombongan sebelum mendapatkan bayi. Kuambil saja bayi yatim itu dan aku bawa pulang”.
Suaminya menjawab, “terserah engkau saja. Siapa tahu Allah memberikan berkah kepada kita melalu bayi itu.”
Halimah pun pergi mengambil bayi Muhammad. Semata-mata kerena dia tidak berhasil mendapatkan bayi lain untuk dibawa. Setelah itu dia kembali bergabung dengan rombongan.
Namun, saat dia mulai memangku Muhammad, air susunya mendadak penuh sehingga bayi itu bisa minum dengan puas. Anaknya sendiri ikut menyusu sampai kenyang lalu kedua bocah itu tidur dengan nyentak. Padahal, sebelumnya mereka tidak bisa tidur gara hara yerganggu tangis kelaparan si anak. suami halimah bangkit menghampiri unta yang mereka bawa. Ternyata kambingnya juga penuh air susu. Lansung saja mereka memerahnya sehingga bisa minum sampai kenyang. Sungguh, mereka telah melewati malam yuang sangat menenangkan.
Saat fajar tiba, suaminya berkata. “Halimah, tahukah engkau bahwa engkau telah membawa seorang bayi pembawa berkah?”
Halimah menjawa, “memang itulah yang betul betul kuharapkan.”
Kemudian rombingan mulai bergerak. Halimah meunggangi keledainya bersama bayi Muhammad. Sungguh, keledainya berjalan dengan cepat hingga tak terkejad orlh keledai teman temannya. Mereka sampai terhetan heran, “ Hai putri Abu Dhu’aib, tunggu kami! Bukankah ini keledai yang kau tunggangi waktu kita berangkat kemarin?”
Halimah menjawa, “Ya, memang keledai yang sama.” “ada yang ajaib dengan keledai itu,” komentar mereka.
Akhirnya sampailah rombongan di tempat tinggal mereka, perkampungan Bani Sa’ad. Rasanya tidak pernah mereka menyaksikan daerah segersang itu. Begitu halimah datang, kambing-kambing mendekat. Sungguh menakjubkan mereka tampak kenyang dan kantung susunya menggelembung penuh air susu. Keluarga Halimah langsung memerah dan memum susunya. Padahal orang lain di kampung mereka tidak berhasil memerah setetes pu air susu. Sejak itu, orang-orang menyuruh para pemggembalanya, “Gembalakan kambing kambing itu di tempat penggembala Halimah menggemebalakan kambingnya.” Ternyata kambing kambing merekea pulang kandang tetap dalam keadaan lapar dan kering susunya. Sementara, kambing Halimah pulang dalam keadaan kenyang dan penuh air susunya. halimah sekeluarga terus mencatata segala kebaikan dan tambahan yang Allah berikan itu hingga dua tahun lamanya. Muhammad kecil tumguh jauh melampaui anak seusianya. Belum genap dua tahun, dua telah menjadi anak yang kuat dan gagah.
Setelah masa penyusuan usai, Halimah menemui Aminah dan memohon agara dia sudi membiarkan Muhammad kecil tetap tinggal bersama mereka karena mereka yakin bajwa anak ini membawa berkah. Mereka berkata, “ bagaimana seandainya anak itu tetap kami yang asuh sampai besar? Kami khawatir dia terkena penyakit yang melanda Mekah.” Mereka terus membujuk Aminah sampai bersedia melepas Muhammad kembali.
C. PERISTIWA PEMBELAHAN DADA
Akhirnya, Muhammad kecil kembali diasuh di perkampungan Bani Sa’ad hingga beberapa bulan setelah itu. Demikian menurut pendapat Ibnu Ishaq. Pada usia empat tahun, menurut para sejarawan, terjadi peristiwa pembelahan dada.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, suatu hari Muhammad kecil didatangi oleh malaikat Jibril. Saat itu dia sedang asyik bermain dengan teman-teman sebayanya. Malaikat Jibril membawanya, merebahkannya, lalu membelah dadanya. Segumpal hati yang masih berlumuran darah dikeluarkan seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada padamu.”
Jibril lalu mencuci hati itu dengan air zamzam yang ditaruh di dalam sebuah bejana emas, kemudian mengembalikannya ke tempat semula, dikatupkannya lagi satu dengan lainnya. Setelah itu Muhammad dikembalikan ketempat teman temannya. Mereka lari berhamburan menemui ibu susuhnya, Halimah. Sambil teriak, “Muhammad telah dibunuh!’ ujar mereka.
Semua bergegaas menghmpiri Muhammad kecil yang pucat pasi ketakutan. Anas Bin Malik menuturkan, “Aku pernah melihat bekas belahan itu di dada beliau.”
D. KEMBALI KEPANGKUAN IBUNDA
Setelah kejadian itu, Halimah betul-betul khawatir sehingga memulangkan Muhammad kepada ibunya. Muhammad diasuh oleh Aminah hingga berusia enam tahun.
Suatu hari aminah ingin berziarah ke kubur suaminya di Yatsrib. Dia meninggalkan Mekah untuk menempuh perjalanan sepanjang 500 km bersama Muhammad dan pembantunya yang bernama Barakah yang akrab di panggil Ummu Aiman.
Aminah tinggal di Yastrib selama satu bulan, kemudian pulang ke Mekah. Dan awal perjalanan, ibunda tercinta jatuh sakit. Sakitnya kian hari kian parah hingga akhirnya wafatlah Aminah di desa Abwa’ yang berada diantara Mekah dan Madinah.
E. DALAM ASUHAN SANG KAKEK ABDUL MUTHALIB
Rasa iba Abdul Muthalib begitu mendalam kepada sang cucu yang kini yatim piatu dimasa kanak kanaknya. Maka ia curahkan kasih sayangnya kepada cucunya melebihi sayangnya kepada anakanaknya. Konon kakeknya ini tidak pernah meninggalkan Muhammad seorang diri. Bahkan dia lebih mengutamakan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Ibnu Hisyam mengisahkan bahwa ada satu tempat istirahat khusus milik Abdul Muthalib di bawah naungan Ka’bah. Anak-anaknya biasa duduk mengelilingi tempat ini sambil menuggu ayan mereka keluar. Tidak seorang pun yang berani menempatinya karena menghormati ayah mereka. Suatu hari Muhammad datang dan menempati tempat Abdul Mutholib kakek nya itu. Sepontan anak-anak Abdul Muthalib menarik Muhammad agar ia mundur.
Ketika hal itu diketahui oleh Abdul Muthalib, berkatalah dia, “Biarkan anakku ini, sungguh dia begitu istimewa.” Lalu kakek nya menemani Muhammad duduk disitu sambil mengelus elus punggung cucu kesayangannya itu dengan rasa sayang. Dia selalu gembira setiap melihat Muhammad melakukan sesuatu.
Saat Muhammad berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari, Abdul Muthalib sang kakek pun wafat berpulang di Makah. Sebelum wafat dia berencana menyerahkan cucunya itu dalam asuhan Abu Thalib sang paman, saudara kandung Abdullah ayah dari Muhammad.
F. DALAM ASUHAN PAMAN ABU THALIB
Abu Thalib melaksanakn amanah merawat sang kemenakan dengan cara terbaik, diasuhnya Muhammad bersama anak-anaknya yang lain, bahkan perhatiannya kepada Muhammad melebihi perhatian kepada anak-anak kandungnya sendiri. Empat puluh tahun lamanya Abdu Thalib mendapmingi dan menjaga Muhammad. Pamannya itu bersahabat dan bermusuhan demi dia. Akan kita kisahkan nanti di bab tersendiri.
G. HUJAN TURUN KARENA KEMULIANNYA
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Julhumah ibn Urfuthah yang pada suatu hari datang ke mekah saat penduduknya mengalami paceklik. Orang-orang Quraisy mengadu kepada Abu Thalib, “Abu Thalib, lembah mulai mengering dan keluarga kami kelaparan. Berdoalah untu minta hujan."
Abu Thalib keluar bersama Muhammad lalu disandarkannya punggung kemenakannya itu didinding Ka’bah. Muhammad menengadahkan tangannya. Saat itu langit cerah dan bersih tanpa awan, sangat terik terasa. Namun, taklama kemudian awan berdatangan dari segala penjuru dan hujan pun turun dengan deras. Lembah mekah memancarkan airnya, ladang dan gurun menjadi subur.
H. BERTEMU RAHIB BUHAIRA
Ketika Muhammad berusia 12 tahun (ada yang mengatakan lebih 2 bulan 10 hari), Abu Thalib mengajaknya ke Syam untuk berniaga bersama kafilah lainnya. Mereka sampai disatu tempat bernama Bushra (didaerah wilayah syam) dan ibu Kota Hauran yang saat itu merupakan ibu kota Arab dibawah kekuasaan Romawi. Disitu ada seorang pendeta terkenal bernama Buhaira. Namun nama aslinya adalah Jirjis. Ketika kafilah Muhammad lalu disana, sipendeta keluar menjumpai mereka. Padahal dia tidak pernah mau menemui seorang pun sebelumnya.
Awalnya dia membaur ke kafilah itu. Pelan-pelan dihampirinya Muhammad, digenggamnya tangannya seraya berkata, “inilah penghulu para Rosul. Inilah Rasul utusan Tuhan alam semesta. Inilah orang yang diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Mendengar perkataan itu Abu Thalib dan beberapa pembesar Quraisy bertanya. “Darimana engkau tahu?”
Buhaira menjawab, “Sungguh, ketika kalian mulai mendekati Aqabah, semua batu dan pepohonan bersujud (merunduk). Padahal, batu dan pohon tidak akan bersujud, kecuali disitu ada seorang nabi. Aku mengenali dia dari cincin nubuwat dibawah tulang rawan bahunya. Bentuknya menyerupai buah apel. Kami mengetahui tanda seperti itu dari kitab suci kami.”
Buhaira menjamu seluruh kafilah layaknya tamu. Dimintanya Abu Thalib agar membawa Muhammad pulang dan mengurungkan niat untuk membawanya ke Syam. Dia menghawatirkan ancaman orangorang Romawi dan Yahudi jika tau bahwa Nabi terakhir bukan dari golongan mereka. Maka Muhammad dikirim kembali ke Mekah bersama sebagian anak lainnya.
I. PERANG FIJAR
Sewaktu Muhammad berusia 20 tahun, meletus perang di Pasar Ukazh yang melibatkan Bani Qois Ailan dengan Suku Quraisy yang didukung oleh Bani Kinanah. Perang ini disebut dengan perang Fijar. pemicunya adalah seorang dari Bani Kinanah dibunuh oleh tiga orang dari bani Qais Ailan. Kabar kejadian ini sampai ke Pasar Ukazh dan menyulut emosi kedua kabilah.
Perang ini dinamakan perang Fijar karena telah melanggar kehormatan bulan suci. Muhammad juga mengikuti perang ini. Ini perang pertama kali yang di ikutinya. Tugasnya adalah menyiapkan anak panah untuk dibidikkan.
J. MASA BEKERJA
Menginjak remaja Muhammad belum punya pekerjaan tetap. Namun, beberapa riwayat menceritakan bawa dia bekerja menggembala kambing, dari sejak tinggal dengan pamannya dia sudah menggembala kambing milik pamannya Abdu Thalib, dan saat remaja dia menggembalakan kambing milik Bani Sa’ad dan penduduk Mekah dengan imbalan beberapa qirath. yang jelas, dia beralih profesi menjadi pedagang ketika berusia menginjak remaja.
Menurut satu riwayat, Muhammad pernah berdagang bersama Saib ibn Abu Saib al-Makzumi, dan menjadi rekan bisnisnya yang baik. Dalam menjalankan bisnis, dia tidak pernah curang atau berselisih. Pada saat penaklukan Mekah, Muhammad menghampiri Saib, yang langsung menyambutnya seraya berkata, “Selamat datang, saudaraku dan rekanku.”
Pada usia 25 tahun, Muhammad mulai berdagang ke Negeri Syam. Ibnu Ishaq menuturkan bahwa seorang wanita bernama Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar mulia nan kaya raya, Dia menggaji beberapa orang untuk menjalankan bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Suku quraisy memang terkenal sebagau suku yang gemar berdagang.
Ketika Khadijah mendengar kabar tentang kepribadian Muhammad yang jujur, dan amanah, dan berakhlak mulia, dikirimnya utusan menemui laki itu. Melalui sang utusan, Khadijah meminta Muhammad agar bersedia memutar modalnya untuk berdagang di Syam, dengan didampingi pembantunya yang bernama Maisarah. Khadijah berjanji akan memberikan imbalan lebih dari yang pernah diberikan kepada rekan bisnisnya yang lain.
Muhammad meneriman tawaran kerja itu. Dia berangkat membawa modal dengan didampingi oleh pembantu Khadijah, Maisarah, hingga tiba di Syam.
K. MENIKAH DENGAN KHADIJAH
Setelah pulangnya Muhammad dari berdagan di Negeri Syam ke Mekah. Khadijah melihat betapa amanah pengelolaan ahrtanya dan betapa berkah hasil bisnisnya. Belum pernah dia melihat hasil seperti itu sebelumnya. Simpati Khadijah bertambah-tambah setelah Maisarah menceritakan berbagai hal yang dia lihat selama mendampingi Muhammad. Di antaranya adalah perilaku terpuji, perangai mulia, ide-ide cemerlang, tutur kata santun, dan cara berdagang yang amanah. Khadijah seakan menemukan tambatan hati yang selam ini dicarinya. Padahal saat itu banyak pemuka dan bangsawan Quraisy yang ingin menikahinya, tetapi dia tolak. Ditambatkannya isi hatinya terhadap pemuda bernama Muhammad, lalu dia bercerita dan mencurahkan isi hatinya itu kepada seorang temannya wanita yang bernama Nafisah binti Munabbih. Nafisah akhirnya menemui Muhammad untuk meminta kesediaannya menikahi khadijah. Putra Abdullah ini setuju lalu membicarakan urusan tersebut dengan beberapa pamannya. Keluarga Bani Hasyim pun menemui paman Khadijah dana meminangnya untuk Muhammad.
Pernikahan digelar dua bulan setelah kepulangan Muhammad dari Syam itu. Akad nikahnya dihadiri oleh keluarga besar Bani Hasyim dan para pembesar Bani Mudhar, dengan mahar 20 ekor unta. Saat itu usia Khadijah empat puluh tahun dan merupakan perempuan paling mulia di masyarakat, baik dalam hal nasab atau keturunan, harta, maupun intelektualitas. Dia adalah perempuan pertama yang dinikahi Muhammad, dan Rosulullah tudak menikah dengan perempuan lain sampai Khadijah wafat.
Semua putra-putri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dilahirkan oleh Khadijah, (kecuali anaknya yang bermana ibrahim diperoleh dari istri yang lain bernama Mariah al-Qibtiyah). Anak yang pertama dari Khadijah adalah Qasim, yang namanya manjadi julukan (kunyah) Nabi, yaitu Abdul Qasim. Kemudian berturut turut Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultshum, Fatimah, dan Abdullah (julukannya ath-Thayyib dan ath-Thahir). Semua anak lelaki beliau meninggal waktu kecil. Adapun anak-anak perempuannya sempat mengenyam masa islam lalu masuk islam dan ikut hijrah ke Madinah. Namun, mereka semua meninggal saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup, kecuali Fatimah. Si bungsu ini wafat enam bulan sepeninggal ayahandanya.
L. RENOVASI KA’BAH
Ketika Muhammad berusia 35 tahun, orang-orang Quraisy berinisiatif membangun Ka’bah yang saat itu Cuma berupa gundukan batu besar setinggi 4,5 meter. Sejak zaman Ismail ‘Alaihissalam Ka’bah tidak beratap sehingga pencuri bisa dengan mudah mengambil benda benda yang disimpan didalamnya. Kendati demikian sebagai peninggalan kuno, bangunan itu telah melewati masa yang panjang dan kondisi alam yang bisa meruntuhkan bangunan atau menggerus dindingnya. Lima tahun sebelum Nubuwat Muhammad, mekah dilanda banjir besar yang meluap hingga Baitul Haram (yang dikenal dengan Aamul Faydhon). Ka’bah dikhawatirkan runtuh sewaktu waktu akibat banjir tersebut. Maka, mau tidak mau orang-orang Quraisy harus merenovasinya demi melestarikan keberadaannya. Mereka sepakat untuk hanya menggunakan sumber-sumber yang baik untuk renovasi. Tidak boleh ada yang memasukkan uang hasil kezaliman atau hasil jual beli riba. Namun, merekea tetap merasa takut merobohkan Ka’bah tua itu hingga akhirnya Walid bin Mughirah al-Makhzumi nekat. Diambilnya linggisnya seraya berkata, “Ya Tuhan Ka’bah, tidak ada yang kami inginkan kecuali kebaikan.” Dia mulai menghancurkan sudut dua tiang penyangga Ka’bah. Lalu di ikuti oleh orang-orang. Bangunan lama Ka’bah dirobohkan pada hari kedua. Mereka terus memberihkannya sampai hanya menyisahkan pondasi yang dahulu dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Setelah itu, renovasi pun dimulai. Setiap kabilah mendapat tugas tersendiri. Mereka mulai mengumpulkan batu-batu dengan bersemangat dan bersama sama membangunnya. Penanggung jawab adalah seorang arsitek Romawi bernama Baqum.
Ketika sampai pada tahap penempatan Hajar Aswad, terjadi silang pendapat tentang siapa yang pailing layak meletakkan batu hitam itu di tempatnya. Perselisihan berlangsung hingga empat atau lima hari. Debat mulut kian meruncing sampai nyaris terjadi baku hantam dan pertumpahan darah di tanah suci. Akhirnya, Abu Umayyah Ibnul Mughirah al-Makhzumi mengusulkan bahwa yang berhak menaruh Hajar Aswad adalah orang yang pertama-tama memasuki masjid. Semua setuju dengan usul ini. Sesuai kehendak Allah, ternyata Muhammadlah orangnya. Begitu melihat Muhammad, mereka berbisik, “Inilah al-amin (orang yang terpercaya).” Yang lain menimpali dan berkata, “Kita bisa menerimanya.” Lainnya lagi berkata puas, “Inilah Muhammad!”
Maka dijelaskanlah kepadanya semua persoalan dan apa yang telah mereka sepakati. Muhammad lalu meminta sehelai kain. Ditaruhnya Hajar Aswad di atasnya, dan diminta semua pemuka kabilah menggotongnya dengan kain itu. Setibanya di tempat yang dituju, Muhammad mengambil Hajar Aswad dan menaruhnya, inilah solusi cerdas yang memuaskan semua pihak.
Orang-orang Quraisy kehabisan dana untuk membangun Ka’bah yang mengandalkan penghasilan mereka yang baik. Mereka terpaksa menyisakan enam hasta di sisi utara, yaitu yang disebut al-Hijir atau al-Hathim. Pintu Ka’bah ditinggikan sekitar dua meter agar tidak mudah dimasuki, kecuali oleh orang-orang tertentu yang diperbolehkan. Tatkala tinggi bangunan telah mencapai 15 hasta, mereka menyangga atapnya dengan enam buah tiang.
No comments:
Post a Comment